book

ASALE

Perkuat Identitas Bangsa Lewat Busana Nusantara

Pagi itu, Jumat 30 April 2010, cuaca Kota Surakarta terlihat cerah. Ramainya lalu lintas di Jl. Slamet Riyadi tak mengurangi kekhidmatan sebuah kegiatan yang berlangsung di Dalem Wuryaningratan. Hari itu terasa istimewa karena menjadi momentum bersejarah yakni lahirnya organisasi perempuan asal Kota Surakarta yang memiliki kecintaan serta kepedulian terhadap pelestarian busana adat Nusantara.

Sejumlah perempuan muda mambawakan tari gambyong untuk menyambut para tamu yang mulai memadati Dalem Wuryaningratan, sebuah bangunan bergaya Jawa dan Eropa yang terletak di Jl. Slamet Riyadi no. 261. Para penari itu juga memperagakan proses pembuatan kain batik dalam bentuk tarian. Di antara para tamu yang hadir, tampak Ibu Iriana Jokowi yang kala itu masih menjabat Ketua TP PKK Pemerintah Kota Surakarta. Pada saat itu, Ibu Iriana datang dengan balutan busana kebaya khas Jawa warna merah jambu dengan motif kembang.

Tak lama kemudian, puluhan perempuan berkebaya dengan motif kembang mulai berdatangan memadati aula sejarah bersejarah yang dulunya merupakan tempat tinggal Kanjeng Pangeran Harya Wuryaningrat itu. Mereka merupakan perempuan-perempuan yang cinta serta peduli terhadap pelestarian busana adat Nusantara. Kehadiran mereka membuat suasana di Dalem Wuryaningratan begitu meriah dengan berbagai corak kebaya berwarna warni yang dikenakan. Busana mereka terlihat serasi saat dipadukan dengan bawahan kain batik panjang dengan berbagai motif yang khas. Mereka juga mengenakan selendang berwarna yang membuat mereka terlihat anggun dan memesona.

Hari itu, para perempuan ini dikukuhkan sebagai pengurus Himpunan Ratna Busana (HRB) Surakarta yang diketuai Ibu Danarsih Santosa. HRB merupakan sebuah organisasi yang didirikan atas dasar rasa cinta dengan ciptaan karya dan karsa busana asli Nusantara.

Dalam sambutannya, Ibu Danarsih mengatakan berdirinya HRB Surakarta didasari rasa cinta kepada Tanah Air dan Kebudayaan Indonesia. Adapun tujuan HRB juga tertuang dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD ART) yaitu upaya mulia sebagai warga Negara Indonesia yang sudah seharusnya terus menggali, membina dan mengembangkan kebudayaan berbasis lokalitas. Dengan terus merawat kebudayaan diharapkan dapat memperkuat kepribadian dan identitas bangsa, mempertebal rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan.

Tekad Kuat Membumikan Kembali Busana Nusantara

Berdirinya HRB Surakarta tidak terlepas dari sosok Danarsih Hadi Santosa, perempuan asli Solo yang dikenal sebagai penggiat sekaligus pemilik perusahaan batik ternama Danar Hadi. Sebagai perempuan yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk lestarinya batik serta busana Nusantara, Danarsih memiliki keinginan wastra dari Tanah Air tetap eksis dan bertahan menghadapi perubahan zaman.

Lahirnya HRB Surakarta berangkat dari membiarkan bersama. Danarsih mengamati tren fesyen yang tengah digandrungi generasi muda di kota-kota besar di Indonesia. Dia prihatin melihat generasi muda tak banyak yang tertarik mengenakan busana dari bahan wastra Nusantara. Setidaknya, hal itu tercermin dalam setiap perayaan pesta pernikahan. Kebanyakan para tamu mengenakan gaun pesta yang cenderung berkiblat di budaya Barat atau Timur Tengah. Danarsih mengambil kesimpulan jika citra perempuan dengan wastra Nusantara mulai memudar.

Sebagai perempuan yang lahir dengan kultur tradisi dan budaya yang melekat kuat, Danarsih tergerak untuk membangkitkan kembali rasa cinta terhadap busana Nusantara. Ia kemudian berinisiatif merintis berdirinya HRB Surakarta yang menjadi cabang dari HRB Indonesia yang lebih dulu berdiri pada tahun 1972.

Di Kota Surakarta, ia mengajak 10 perempuan lain yang memiliki kesamaan tekad dan cinta terhadap busana Nusantara. Mereka sepakat untuk membangun organisasi yang berorientasi terhadap pelestarian sampah nusantara ini. Secara kebetulan banyak dari teman Danarsih yang juga memiliki kegelisahan yang sama yaitu fenomena hilangnya ruh terhadap wastra Nusantara dalam setiap momentum seperti hajatan pernikahan.

Mereka-mereka yang memiliki kegelisahan yang sama dengan Danarsih antara lain Ir. Rien Hermansukarman, RAY Febri H. Dipokusumo, Dra. Maria Kartonagoro, Poppy S. Sarosa, Sri Sutanti David Sutarno, Iriano Subandono Notonegoro, SH, Dra. Martha K. Wibowo, M.Si, Nora Yap Gunawan, Sri Nurgantiningsih dan Hj. Yulia Rosa Santi W.

Pada tanggal 30 April 2010, atas dasar keinginan kuat serta niat tulus ikhlas, maka berdirilah sebuah organisasi yang membawa cinta dan harapan untuk membumikan kembali busana Nusantara. Organisasi itu adalah Himpunan Ratna Busana (HRB) Surakarta.

HRB Surakarta juga membawa visi dan misi yang sejalan dengan HRB Indonesia. Pertama , menggali dan melestarikan busana nasional dan tradisional Indonesia. Kedua , mengadakan modifikasi seperlunya sesuai situasi dengan tidak menghilangkan ciri khas busana nasional dan tradisional Indonesia. Ketiga , meningkatkan, memasyarakatkan, menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap busana nasional dan tradisional Indonesia.

Tampil Trendi Tanpa Kehilangan Jati Diri

Malam itu, ribuan orang memadati kompleks Pasar Triwindu di kawasan Ngarsopuro, Surakarta, pada 22 Juni 2010. Pandangan mereka muncul di panggung yang berdiri cukup megah. Panggung itu dibuat dengan balutan arsitektur pasar yang didesain sedemikian rupa. Di bawah iringan musik dipadukan dengan lampu sorot yang bergerak secara teratur, secara bergantian ratusan perempuan berjalan dengan pelan dan gemulai pameran busana batik dan kebaya dari berbagai daerah di Nusantara.

Kurang dari satu bulan setelah pengurus HRB Surakarta dikukuhkan, Joko Widodo yang saat itu masih menjabat Wali Kota Surakarta mengundang segenap pengurus organisasi ini untuk ikut tampil dalam perhelatan fashion  show  bertajuk “Solo Batik Fashion” yang diadakan pada 22 Juni 2010. Mendapat undangan itu, Ibu Danarsih Santosa bersama pengurus HRB Surakarta lainnya dengan senang hati menerima. Meski pengurus maupun anggota HRB Surakarta sebagian besar berusia paruh baya, mereka memiliki kecintaan terhadap busana Nusantara yang kuat. Hal itu yang membuat mereka membulatkan tekad untuk menjadi model dadakan.

Meski harus bersaing dengan banyak model yang lebih muda, anggota HRB Surakarta tetap tampil dengan percaya diri bak model berpengalaman. Di ribuan pasang mata, anggota HRB tidak gentar menampilkan paduan batik dengan kebaya dari berbagai daerah nusantara yang unik dan menarik.

Solo Batik Fashion yang digelar sukses tidak hanya difungsikan sebagai hiburan semata. Banyaknya desain paduan batik dan kebaya yang ditampilkan mampu memperkaya referensi berbusana agar tetap trendi meski dalam balutan wastra nusantara. Generasi muda tidak perlu khawatir terlihat kuno ketika memakai batik atau kebaya. Nyatanya, dengan sentuhan modifikasi batik dan kebaya justru mampu menampilkan gaya berbusana yang lebih elegan, mewah dan tentunya kekinian.

Gejala generasi muda yang enggan menggunakan busana wastra Nusantara dengan alasan kuno turut menjadi perhatian Wakil Ketua HRB Surakarta, RAY. Febri Hapsari Dipokusumo. Ia berpandangan jika wastra nusantara tidak hanya difungsikan sebagai busana yang melekat di tubuh perempuan, melainkan juga menjadi simbol identitas dan jati diri perempuan Indonesia yang harus tetap dijaga eksistensinya.

Kenali , Cintai dan Lestari

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai Cakrawala harus dikurung jarak

Mencintaimu harus menjelma aku

 

Kalimat itu merupakan penggalan puisi karya sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono yang berjudul Sajak Kecil tentang Cinta . Puisi di atas menyiratkan makna jika dalam proses mencintai maka harus siap menerima konsekuensi atas apa yang dicintai.

Selaras ketika ingin menyelamatkan wastra Nusantara, maka konsekuensinya harus mengenakannya. HRB Surakarta sebagai organisasi perempuan yang menjunjung tinggi wastra Indonesia selalu berupaya memperkenalkan berbagai kain wastra agar digandrungi kalangan muda.

Di Indonesia setidaknya ada empat wastra yang memiliki reputasi mendunia yaitu kain batik, kain ikat, kain songket dan kain tenun. Empat wastra ini sudah seharusnya menjadi kebanggan bagi generasi muda karena wastra kain tersebut merupakan produk seni kain mewah yang banyak peminatnya di seluruh dunia.

Menurut Danarsih Hadi Santosa, tidak ada alasan bagi generasi muda menghindari wastra hanya karena takut terkesan tidak modis. Padahal, tren fesyen saat ini sudah banyak yang memasukan wastra sebagai hiasan busana kekinian. Bahkan batik gaung wastra mampu menembus level internasional dan banyak digunakan oleh desainer terkemuka di dunia.

Selain batik, wastra lain seperti kain ikat Flores juga dikenal dunia. Melalui parade busana Paris Fashion Week 2018  di Le Grand Intercontinental Hotel, kain ikat ini dipamerkan oleh desainer Julie Laiskodat. Lalu kain Songket Sumatra Selatan yang juga berhasil memikat puluhan pasang mata berkat motifnya yang khas saat tampil dalam pagelaran busana bergengsi yakni DC Fashion Week 2014  di New York yang dibawakan desainer Dian Pelangi.

Belakangan ini, kain tenun juga ramai diperbincangkan para pengamat fesyen serta desainer busana dunia. Hal itu karena kain tenun masuk sebagai salah satu koleksi spring and summer 2021  desainer busana ternama Christian Dior pada event  Paris Fashion Week 2020 .

Sekretaris HRB Surakarta Titik Rahmawati Hardono menyebut upaya melestarikan wastra Nusantara merupakan tanggung jawab generasi muda yang siap tidak siap harus diemban. Jika bukan generasi muda Indonesia, siapa lagi yang akan mewarisi. Caranya adalah dengan mengenali wastra, mencintai wastra lalu melestarikan wastra.

Ragam Warna, Satu Tujuan

Suara gemericik air mengiringi datangnya sajian teh hangat yang masih mengepul. Hidangan ringan berupa risol ayam bersanding dengan kue bolu basah menemani percakapan sejumlah perempuan di kediaman Ketua HRB Surakarta, Danarsih Hadi Santosa. Perempuan yang biasa tampil dengan balutan busana kebaya dalam kehidupan sehari-hari itu bercerita mengenai proses kaderisasi HRB Surakarta yang memiliki karakteristik berbeda dengan organisasi perempuan lainnya.

HRB Surakarta memiliki kultur sendiri dalam menjalankan roda organisasi. Kultur itu setidaknya sudah berjalan selama 14 tahun sejak organisasi ini resmi dibentuk di Surakarta. Pada prinsipnya, HRB Surakarta terbuka untuk perempuan manapun yang ingin bergabung. Tidak ada batasan umur atau strata sosial tertentu. Syarat utamanya adalah memiliki rasa cinta dan kepedulian terhadap budaya dan wastra Nusantara. Hal itu bisa dilihat dari cara dia berbusana, baik di sebuah acara seperti pernikahan atau dalam kehidupan sehari-hari. “Kami berasal dari berbagai kalangan. Latar belakang kami berwarna. Siapa pun bisa bergabung. Yang terpenting mereka memiliki kecintaan terhadap budaya dan wastra Nusantara,” ujar Danarsih pada kesempatan itu.

Dra. Martha K. Wibowo selaku pengurus HRB Surakarta Bidang Budaya dan Pendidikan menjelaskan selama ini proses rekrutmen anggota berdasarkan getok tular melalui jalinan persahabatan di berbagai komunitas seperti pengajian, kegiatan sosial dan lain-lain. Jika ada yang berminat bergabung menjadi anggota HRB Surakarta, calon anggota baru itu harus mendapat rekomendasi dari pengurus.

Proses diskusi internal menjadi penting karena masuknya anggota baru akan berpengaruh pada kesehatan organisasi. Diharapkan, anggota baru yang bergabung dapat memenuhi kualifikasi yang selaras dengan visi serta misi HRB Surakarta. Sebagai anggota HRB Surakarta mampu menjaga organisasi marwah dengan memakai busana yang identik dengan jati diri perempuan Nusantara. Yang tidak kalah pentingnya adalah sikap  atau perilaku calon anggota itu sendiri dalam kesehariannya.

Organisasi juga akan menyatakan dengan tegas ketika mendapati anggotanya melanggar tata aturan organisasi. Jika tingkat pelanggarannya tergolong berat, HRB Surakarta tidak segan mengeluarkannya dari organisasi.

Bermerek Tidak, UMKM Ya

Salah satu faktor penting yang menentukan diterimanya menjadi bagian dari HRB Surakarta adalah komitmen dengan segala peraturan yang ada. Misalnya, menghindari memakai produk tas brand ternama. Tas yang dibawa anggota HRB Surakarta disarankan menggunakan produk UMKM dengan kualifikasi tenun, rajut atau anyam. Bahkan, anggota HRB tidak diperbolehkan menggunakan kain batik yang dibuat dengan mesin print. Batik motif minimal yang dibuat dengan metode cap atau lebih direkomendasikan tulis.

Tidak hanya tas, kain untuk busana sehari-hari juga dari produksi dalam negeri, seperti kain produksi Cirebon, Madura dan tempat-tempat lain di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk mengedukasi generasi bangsa agar bangga menggunakan produksi dalam negeri yang tidak kalah dalam aspek kualitas dan desain artistiknya. Bahkan tas dengan proses tenun bisa bersaing dengan tas branded ternama, baik dari segi harga atau kualitas.

Belajar Tenun Langsung dari Suku Sasak

Sak.. sak.. sak.. Suara itu terdengar dari alat tenun bukan mesin (ATBM) milik seorang perempuan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tampak perempuan itu sangat telaten menarik satu persatu benang kemudian dia rapatkan hingga mulai terlihat sebuah pola tenun dengan motif yang cantik. Masih dalam rangka menjalankan program kerja mempelajari busana adat di seluruh Indonesia, tepatnya pada 27 April 2016 silam, HRB Surakarta bertandang ke Pulau Lombok.

Rombongan HRB Surakarta disambut pemerintah daerah setempat di Pendopo Gubernur NTB. Rombongan HRB disuguhi pergelaran busana tenun khas Lombok-Sumbawa. Selain itu, terdapat pameran hasil kerajinan khas NTB seperti mutiara, kerajinan ketaq, kerajinan tenun, batik, gerabah, cukli dan kerajinan dari bahan perak. Rombongan anggota HRB Surakarta juga dipersilahkan berinteraksi secara langsung kepada para perajin.

Keasyikan terjadi ketika beberapa anggota HRB Surakarta mencoba belajar menenun, terlihat canda tawa mengiringi setiap kali ada anggota yang belajar terlihat kepayahan. Dari proses belajar tenun yang sulit dan butuh konsentrasi tinggi itulah anggota HRB Surakarta menyadari jika perjuangan perajin harus dihargai dengan layak.

Danarsih Hadi Santosa selaku Ketua HRB Surakarta merasa bangga karena kedatangan anggotanya disambut baik oleh Pemerintah NTB. Menurutnya, NTB dengan segala potensinya dapat memikat dunia melalui wisata maupun budaya. Ketua harian Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTB, Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si dalam Berbagainya kala itu mengatakan jika visi Dekranasda Provinsi NTB adalah memberdayakan pengrajin, membantu dalam pemasaran sampai mempromosikan hasil kerajinan lokal.

Salah satu prestasi yang mempesona adalah saat desainer Dian Pelangi berkenan merancang serta mempromosikan tenun dan batik khas Sasambo yang dipamerkan di New York Fashion Week 2019 . Bahkan, karya yang dipamerkan sempat mendapat pujian dari Miss USA.

Perjalanan rombongan HRB Surakarta di Pulau Lombok diakhiri dengan mengunjungi Pantai Gili Trawangan yang merupakan tempat favorit wisatawan untuk berburu matahari terbenam. Perjalanan di Lombok menjadi pengalaman berharga karena anggota HRB tidak sebatas mengamati proses budaya yang berlangsung, tetapi juga ikut merasakan budaya itu membimbing masyarakatnya menjalani laku hidup sehari-hari.

Pesona Lombok di House Of Danar Hadi

Tampil anggun dengan balutan kebaya merah dengan bawahan kain wastra asal Lombok, perempuan itu berjalan pelan setelah keluar dari mobil sedan mewah. Dengan rambut disanggul dan berkalung mutiara warna putih tulang, perempuan itu langsung menjadi pusat perhatian setibanya di House of Danar Hadi pada 10 Mei 2016.

Danarsih Hadi Santosa selaku Ketua HRB Surakarta menyambut dengan antusias kedatangan tamu kehormatan di momentum peringatan Hari Ulang Tahun ke-VI HRB Surakarta itu. Perempuan yang ditunggu-tunggu kehadirannya tak lain Ibu Negara, Iriana Jokowi. Kehadiran Ibu Negara yang berstatus sebagai Pelindung HRB Surakarta itu menjadikan kegiatan tahunan organisasi itu terasa istimewa.

Momen perayaan HUT ke-VI HRB Surakarta itu mengusung tema Pesona Lombok Nusa Tenggara Barat . Oleh karena itu, baik anggota, pengurus HRB Surakarta maupun semua tamu undangan kompak mengenakan pakaian dari wastra khas Lombok. Setelah sebelumnya melakukan safari budaya ke Lombok, kenangan manis perjalanan itu masih lekang hingga memandu HRB Surakarta menghadirkan Riana Meilia, pelestari busana dari NTB untuk menjadi pemateri pada sesi talkshow .

Reyna yang datang jauh dari Lombok menampilkan peragaan busana berupa tiga pakaian pengantin yang berasal dari NTB. Tiga pakaian pengantin tersebut meliputi, pakaian pengantin Sumbawa, Bojo, dan Sasak Lombok. Uniknya, hidangan makanan yang disuguhkan kepada tamu undangan semuanya serba makanan khas NTB.

Danarsih dalam Segalanya mengatakan jika safari budaya HRB Surakarta di NTB yang dilaksanakan satu bulan sebelumnya membawa banyak inspirasi. Salah satunya ingin memperkenalkan kekayaan budaya yang dimiliki NTB kepada warga Surakarta.

Kompak Organisasiku, Lestari Wastraku

Beberapa perempuan paruh baya dengan setelan kebaya warna merah berdatangan menuju Museum Keris yang terletak di Jl. Bhayangkara No. 2, Sriwedari, pada 14 Agustus 2017. Pagi itu, suasana Museum Keris sedikit berbeda. Tidak seperti biasanya yang cenderung sepi, kali ini mendadak disoraki oleh anggota HRB Surakarta yang berkunjung dengan kompak mengenakan setelan kebaya serba merah.

Dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, HRB Surakarta mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Solo. Selain Museum Keris, beberapa tempat lain yang mereka kunjungi antara lain Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Museum Batik Danar Hadi. Di Museum Keris, anggota HRB Surakarta merasa senang dapat melihat langsung ribuan keris dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Danarsih Hadi Santosa selaku Ketua HRB Surakarta mengatakan keris memang identik dengan pusaka yang dimiliki masyarakat Jawa, khususnya kaum pria. Namun, sebagai perempuan pelestari budaya mesti juga mengenal dan memahami tingginya nilai seni tempa leluhur pada keris yang sarat filosofi. Di Keraton Surakarta, para perempuan yang tergabung dalam HRB Surakarta diajak menikmati setiap jengkal dari bangunan yang menjadi simbol digdayanya Kerajaan Mataram Islam.

Terakhir, para anggota HRB Surakarta mengunjungi Museum Bantik Danar Hadi yang merupakan salah satu Museum Batik terlengkap di Indonesia. Kunjungan tersebut sekaligus menjadi bagian dari agenda rutin HRB Surakarta. Organisasi ini memiliki jadwal pertemuan rutin minimal empat kali dalam setahun. Menariknya, setiap pertemuan HRB Surakarta dilaksanakan di tempat yang berbeda dengan dresscode  busana nusantara. Dengan demikian, setiap pertemuan akan menghadirkan suasana yang berbeda dan baru.

Menurut Titik Rahmawati Hardono selaku Sekretaris HRB Surakarta, dalam setiap pertemuan anggota diwajibkan menggunakan busana nusantara yang berbeda dengan tujuan menumbuhkan rasa cinta terhadap busana nusantara. Menurutnya, kewajiban menggunakan busana nusantara dengan tema berbeda dalam setiap pertemuan bertujuan menguji loyalitas mereka sebagai anggota HRB Surakarta yang dituntut tak sekedar mencintai tetapi juga turut melestarikan wastra Nusantara.

Menjaga Marwah Busana Nusantara

Jembatan Suramadu membentang sejauh mata memandang. Terletak di ujung barat Pulau Madura, Kabupaten Bangkalan memiliki garis pantai yang memukau. Siapapun yang melihat tepian pantai yang menghampar pasir putih dan gemulainya ombak pasti akan terpikat. Pemandangan indah itu menjadikan setiap perjalanan ke Bangkalan sebagai pengalaman yang menyenangkan.

HRB Surakarta sebagai organisasi perempuan pencinta wastra nusantara yang memiliki program kerja keliling Indonesia guna belajar budaya, khususnya busana adat. Minimal setiap satu tahun sekali, HRB Surakarta selalu berupaya melakukan hukuman budaya. Meski terkadang sulit menyelaraskan waktu antar anggota, tetapi dengan semangat menjaga ruh dan marwah busana nusantara, kegiatan tersebut selalu berjalan dengan lancar.

Bangkalan menjadi salah satu daerah yang pernah dikunjungi HRB Surakarta. Kabupaten yang berbatasan dengan Laut Jawa di sisi utara ini dikunjungi HRB Surakarta pada tanggal 18 November 2018 silam.

Rombongan HRB Surakarta saat itu disambut oleh Bupati Bangkalan R. Abdul Latif Amin Imron di Pendopo Agung Kabupaten Bangkalan. Rombongan HRB juga didampingi pemangku adat Kesultanan Bangkalan yaitu RP Abdul Hamid Mustari Cakra Adi Ningra.

Kedatangan rombongan HRB Surakarta di Bangkalan mendapat sambutan hangat dari pemangku pemerintahan setempat. Abdul Latif berterima kasih kepada HRB Surakarta karena telah memilih Kabupaten Bangkalan sebagai salah satu tujuan destinasi untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya nusantara. Selain mengenalkan budaya dalam hal busana dan wastra Bangkalan, Abdul Latif juga menyuguhkan beragam kuliner khas yang membuat satu rombongan HRB Surakarta tak sabar untuk menikmati kelezatannya.

Siang itu, seluruh anggota HRB Surakarta belajar banyak mengenai busana adat Madura, khususnya busana pria yang sebetulnya sudah sangat dikenal luas di seluruh Indonesia. Busana itu identik dengan baju hitam yang serba longgar dengan kaos dalam berwarna belang merah putih. Baju itu dikenal dengan sebutan pesa’an. Baju ini biasanya dikenakan dengan pengaturan celana gembyong  hitam longgar yang panjangnya antara lutut dan mata kaki. Meski terkesan sederhana, namun sarat dengan nilai-nilai filosofis.

Merawat Eksistensi Budaya

Komitmen HRB Surakarta dalam merawat eksistensi budaya yang diimplementasikan melalui giat busana dan wastra Nusantara. Secara rutin, HRB Surakarta juga mengadakan perjalanan ke berbagai daerah untuk belajar dan mengenal lebih lanjut dalam seluk beluk kebudayaan, termasuk dalam hal berbusana di daerah tertentu. Beberapa daerah yang pernah dikunjungi HRB Surakarta antara lain; Jakarta, Bali, Padang, Lombok dan masih banyak lagi.

Seperti saat melakukan perjalanan ke Padang, rombongan HRB Surakarta dibuat kagum melihat konsistensi masyarakat yang masih banyak menggunakan sarung dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ketika ke Bali, banyak perempuan yang juga lebih nyaman menggunakan wastra Bali dalam aktivitas keseharian. Dari perjalanan ke berbagai tempat yang telah dilakukan HRB Surakarta, banyak pengalaman dan inspirasi yang didapat. Salah satunya menumbuhkan kembali rasa cinta dan kenyamanan perempuan untuk memakai wastra daerah masing-masing meski terkadang perlu adanya modifikasi tertentu.

Berkebaya Meriah, Rekor MURI Terpecah

Mentari tidak begitu terik dan cukup ramah bersentuhan dengan kulit. Di depan Loji Gandrung, ribuan perempuan berbusana kebaya memadati areal rumah dinas Wali Kota Surakarta itu. Tepat ketika waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB, ribuan perempuan itu mulai berjalan dari Loji Gandrung menuju Rumah Danarhadi.

Bertajuk “Parade Berkebaya Bersama Ibu Negara” yang dilaksanakan pada Minggu 2 Oktober 2022, acara yang diikuti sedikitnya 3.000 perempuan dari seluruh Indonesia mencatatkan rekor dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) kategori Berkebaya Jarik Wirun Solo dengan peserta terbanyak di dunia.

HRB Surakarta yang juga ikut berperan dalam suksesnya pelaksanaan itu merasa bangga jika Solo menjadi Saksi terpecahnya rekor dunia kategori berkebaya terbanyak. Ibu Danarsih Santosa selaku Ketua HRB Surakarta dengan anggun berjalan di barisan depan bersama Ibu Negara Iriana Jokowi dan Wury Ma’ruf Amin yang mensusul istri-istri gubernur, bupati/walikota se-Indonesia hingga perwakilan komunitas perempuan seluruh Indonesia termasuk HRB Surakarta.

Dalam berbagai hal, Iriana Jokowi mengatakan, bila kebaya sudah sejak lama menjadi identitas dan gaya berbusana khas perempuan Indonesia. Apalagi istri mantan Wali kota Solo itu memiliki harapan jika perempuan Indonesia minimal satu pekan sekali memakai kebaya dalam aktivitas sehari-hari.

Sejalan dengan harapan Iriana Jokowi, semenjak berdirinya HRB Surakarta, Danarsih sudah membiasakan pengurus maupun anggotanya agar mengenakan kebaya dan wastra nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dirinya hampir tidak pernah menanggalkan sedikitpun selera kebaya dan batik yang sudah menjadi identitas perempuan Nusantara.

Wakil Ketua HRB Surakarta sekaligus dalam kegiatan ini didapuk sebagai ketua pelaksana parade kebaya, Ray. Febri Hapsari Dipokusumo, mengatakan kegiatan itu memiliki tujuan mendukung penetapan Hari Kebaya Nasional sekaligus menganjurkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO.

Dirinya dan seluruh insan perempuan khususnya HRB Surakarta berharap kebaya dapat mengulangi kesuksesan layaknya batik dan gamelan yang sudah ditetapkan lebih dahulu sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) UNESCO.

Lahirnya Hari Kebaya Nasional

Kongres Wanita Indonesia X pada tahun 1964 yang dihadiri oleh Presiden Soekarno menyatakan bahwa Revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa keterlibatan perempuan. Menariknya, seluruh wanita yang hadir pada kongres tersebut mengenakan kain kebaya.

Dra. Martha K. Wibowo selaku pengurus HRB Surakarta Bidang Budaya dan Pendidikan mengatakan generasi muda perlu belajar sejarah di mana Keppres tentang Hari Kebaya Nasional memiliki sejarah sejarah yang menakjubkan. Sebab, kongres Wanita Indonesia X yang jumlahnya ratusan perempuan kompak menggunakan kebaya.

Menurut Martha, bangsa Indonesia harus mengenang momentum bersejarah tersebut. Salah satunya dengan penetapan Hari Kebaya Nasional. Menimbang sakralnya perjalanan sejarah kebaya dalam berdirinya negara Indonesia, HRB Surakarta dan organisasi perempuan lain di Indonesia tidak lelah berjuang memohon adanya Hari Kebaya Nasional.

Perjuangan itu pada akhirnya tidak sia-sia. Presiden Jokowi akhirnya mengabulkan usulan itu tepat pada hari Jumat, 4 Agustus 2023. Hal itu menjadi momentum yang membahagiakan bagi HRB Surakarta tatkala Presiden Joko Widodo benar-benar mengeluarkan Keppres No.19 Tahun 2023 tentang Hari Kebaya Nasional.

Sinar. Febri Hapsari Dipokusumo selaku Wakil Ketua HRB Surakarta mengatakan jika dirinya dan kawan-kawan dengan ikhlas berjuang agar Presiden menerbitkan Keppres tersebut. Berbagai pendekatan serta audiensi ditempuhnya agar pemerintah sadar jika kebaya merupakan busana warisan leluhur yang harus dicintai dan dijunjung tinggi nilai falsafahnya. Kebaya secara tidak langsung juga menjadi bagian dari identitas nasional, perekat bangsa yang berkembang menjadi aset budaya yang sangat berharga.

Tetap Cantik dan Anggun Hingga Lintas Generasi

Suara riuh sekelompok remaja putri terdengar dari barisan tempat duduk yang penuh di Ndalem Wuryoningratan Danar Hadi pada Selasa, 5 Desember 2023. Musik keroncong mengalun merdu yang menambah kehangatan suasana. Sekelompok anak muda itu berkumpul di antara puluhan anggota dan pengurus HRB Surakarta. Mereka tengah mengikuti talkshow  dan fashion  show  yang mengangkat tema “Ragam Kebaya, Jarik Wiron & Sanggul Gaya Surakarta”.

Seluruh peserta yang hadir dalam kegiatan ini semuanya menggunakan dresscode  dengan tema kebaya kembangan yang dipadukan dengan bawahan batik panjang dan sanggul. Wakil Ketua HRB Surakarta Ray. Febri Hapsari Dipokusumo mengatakan jika dresscode  yang dipakai para anak muda itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan akan busana kebaya. Sebab, masa depan dari busana adat itu berada di tangan generasi penerus bangsa. Mereka sudah membuktikan bila dengan mengenakan busana kebaya itu, mereka tetap terlihat cantik dan anggun.

Kegiatan talkshow  dan fashion  show ini merupakan upaya HRB Surakarta nguringuri  budaya Nusantara. Kegiatan ini sekaligus ditujukan untuk memperkenalkan budaya Nusantara kepada generasi muda. Danarsih Hadi Santosa selaku Ketua HRB Surakarta mengatakan banyak generasi muda saat ini asing dengan kebaya, jarik dan juga model sanggul gaya Surakarta. Padahal sebagai generasi muda yang lahir dan tumbuh di kota dengan julukan “ The Spirit Of Java”,  seharusnya generasi muda di Solo bisa mengetahui dan mencintai budaya asli yang berkembang di daerahnya sendiri.

Pada acara itu, turut hadir Ketua HRB Indonesia Titiek Soeharto. Dalam perayaannya, putri Presiden kedua Indonesia itu berharap HRB Surakarta tetap konsisten dalam menjalankan misi melestarikan busana nasional dan busana daerah. Titiek Soeharto juga memberikan penghargaan kepada seluruh pengurus dan anggota HRB Surakarta yang telah mengundang dirinya sebagai pembicara  utama .  Acara talkshow  dan fashion  show  juga bertepatan dengan hari ulang tahun ke-51 HRB Indonesia. Ia berharap HRB Surakarta tetap eksis sebagai organisasi perempuan yang selalu konsisten merawat budaya.

 

 

 

 

 

 

BAB 2

Edukasi, Literasi dan Inspirasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Siapa yang tidak bangga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemenlu melaporkan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Bahkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, Indonesia terdiri dari 1.340 suku bangsa yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara paling kaya akan keragaman budaya dan tradisi di antara negara-negara lain di seluruh dunia.

Selain itu, Indonesia juga mendapat anugerah berupa pemandangan alam yang sangat indah, mulai dari hutan hujan tropis yang membentang luas, lautan bahari yang kaya akan flora bawah laut, eloknya pegununggan dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, dengan adanya ribuan suku membuat Indonesia memiliki keunikan berupa ribuan ragam tradisi, adat, kebudayaan hingga aneka kuliner dan tata busana.

Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat dan normanya masing-masing. Perbedaan itu justru melahirkan sebuah sikap toleransi keberagaman yang tidak membuat negara Indonesia terpecah belah dan justru memperkuat persatuan dan kesatuan. Tentunya sikap dan jiwa nasionalisme para pendahulu pendiri bangsa menjadi inspirasi bagi kita semua para generasi penerus bangsa. NKRI berdiri tidak terlepas dari bersaksinya seluruh elemen suku bangsa yang menginginkan adanya bangsa yang merdeka, damai dan sejahtera.

Pesona Busana Daerah Nusantara

Negara kita Indonesia memiliki ribuan suku dan budaya yang berbeda-beda. Hal itu membuat perbedaan pada corak tradisi dan juga kebiasaan. Salah satunya adalah keunikan dalam hal busana. Setiap suku dan daerah di Indonesia memiliki model dan desain busana dengan karakternya masing-masing. Pada kesempatan ini, kami sajikan informasi terkait sejumlah busana daerah di Indonesia yang memiliki desain menarik dan dapat bertransformasi menjadi gaya baru dan modern dengan sentuhan inovasi. Berikut adalah sejumlah busana daerah yang tak lekang oleh waktu.

 

Busana Aceh

Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang berada di ujung utara dan ujung barat Indonesia. Memiliki luas 57.956,00 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 5.274.871 jiwa, Daerah Istimewa Aceh memiliki julukan Serambi Mekkah. Berdasarkan catatan sejarah, Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang paling sulit dijajah oleh Belanda. Hal itu karena rakyat Aceh memiliki persatuan dan kesatuan yang kuat. Nah, karakter masyarakat, prinsip, budaya, dan persatuan warga setempat sedikit banyak disimbolkan melalui pakaian adat Aceh.

Busana Ulee Balang

Salah satu busana adat Aceh bernama Ulee Balang. Seperti pakaian adat pada umumnya, pakaian adat Aceh satu ini lekat dengan kekhasan adat istiadat yang diterapkan di Aceh. Ciri khas khusus yang dimiliki oleh pakaian adat Aceh ini merupakan salah satu hal penting yang membedakannya dengan pakaian adat lainnya. Baju adat Aceh merupakan perpaduan dari budaya Melayu dan budaya Islam. Pada awalnya, busana Ulee Balang ini hanya digunakan oleh keluarga kesultanan. Namun saat ini siapapun dapat memakai baju ini, busana Ulee Balang juga memiliki dua macam, yakni Linto Baro yang digunakan oleh para laki-laki Aceh dan Daro Baro yang digunakan oleh para perempuan Aceh.

 

Busana Sumatra Utara

Sumatra Utara merupakan salah satu provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki peringkat keempat dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Menurut data sensus penduduk di tahun 2020 tercatat 14.799.361 jiwa. Provinsi Sumatra Utara mempunyai beragam suku seperti Karo, Batak Toba, Nias, Mandailing, Simalungun, Pakpak, Melayu dan lainnya. Apalagi terdapat beberapa akulturasi budaya yang hadir karena adanya keturunan dari pendatang seperti Tionghoa, India ataupun Arab. Dengan beragamnya corak adat dan kultur masyarakat, maka setiap suku memiliki tradisi berbeda-beda salah satunya berkaitan dengan pakaian adat.

 

Busana Betawi

Betawi merupakan suku yang bertempat di ibu kota negara yaitu Jakarta. Istilah Suku Batavia tidak lain julukan untuk masyarakat asli di Kota Batavia. Betawi merupakan perpaduan etnis seperti Suku Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Batak, Tionghoa, Arab, Inggris, Belanda, Portugis, Ambon, Bali, dan lain-lain. Secara keseluruhan, baik dari tradisi, budaya, kebiasaan, kesenian, kuliner, Suku Betawi banyak terinspirasi dari Melayu, Islam, dan Tionghoa. Terlebih corak Melayu dan Islam sangat kental di sana.

 

Kebaya Encim

Salah satu pakaian adat Betawi yang paling sering ditampilkan adalah Kebaya Encim untuk wanita. Baik dari gadis remaja, perempuan muda, hingga perempuan setengah baya Betawi menggemari kebaya yang simpel, sederhana, namun tetap bisa menampilkan kesan keanggunan. Kebaya ini terbuat dari kain berbahan renda atau brokat buatan Eropa yang dikombinasikan dengan bordiran penduduk lokal. Hasilnya, kebaya tersebut tampak seperti langsung dibordir. Bordiran tersebut biasanya bermotif bunga yang dapat ditemukan pada bagian bawah kebaya atau pergelangan tangan. Bordiran yang digunakan dalam Kebaya Encim ini juga beragam, salah satunya bordiran yang berlubang banyak atau biasa disebut kerancang. Zaman dulu, kerancang dibuat lembut dan tampilannya halus.

 

Busana Jawa Tengah

Jawa Tengah memiliki budaya yang kental dan sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Mataram. Banyak daerah yang menggunakan kebaya sebagai pakaian adat masing-masing yang dikhususkan untuk para wanita. Kebaya Jawa Tengah tentunya memiliki keunikan tersendiri. Dengan tampilan yang tampak klasik namun berkelas, kebaya Jawa Tengah sedikit menyimpan kesan misterius. Kebaya Jawa Tengah seringkali digunakan oleh mempelai wanita dalam acara pernikahan. Agar tampak mewah dan muncul aura ratu, bahan yang dipilih merupakan bahan beludru atau kain sutra. Sedangkan untuk kegiatan sehari-hari, kain yang digunakan adalah kain katun atau bahkan nilon tipis agak transparan yang dihiasi dengan sulaman atau bordiran.

 

Busana Bali

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat lekat dengan agama Hindu. Bali juga dikenal dengan Pulau Dewata dengan primadona pariwisata yang kaya akan seni dan budayanya yang unik.

Kebaya Bali adalah pakaian adat yang dikenakan oleh perempuan-perempuan Bali. Kebaya Bali ini sebetulnya bisa dibuat dari berbagai jenis bahan, namun menambahkan renda adalah salah satu favorit para perempuan Bali. Biasanya, kebaya Bali akan dikenakan dengan korset. Korset ini umumnya dikenakan di bagian bawah dan dipakai oleh perempuan Bali yang lebih tua. Umumnya warnanya beragam dan cukup mencolok mata. Kebaya Bali identik dengan warna-warna cerah, hal ini memiliki nilai filosofi yaitu untuk menggambarkan keceriaan sekaligus keanggunan perempuan di Bali. Masyarakat Bali memiliki banyak sekali upacara adat dan juga keagamaan.

 

Busana Nusa Tenggara

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi yang terletak di bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi NTT memiliki tujuh suku, antara lain Suku Sabu, Suku Helong, Suku Sumba, Suku Dawan, Suku Rote, Suku Manggarai, dan Suku Lio. Dari tujuh suku tersebut memiliki kekhasannya masing-masing salah satunya perihal busana.

 

Pakaian Adat Suku Rote

Rote merupakan suku yang bermigrasi dari Pulau Seram, Maluku, menuju Pulau Rote. Sekarang mereka menjadi penduduk asli pulau tersebut. Suku Rote memiliki pakaian adat yang disebut tenun ikat. Pakaian ini mempunyai model yang unik serta sejarah dan nilai filosofis yang tinggi. Karena itu, pakaian adat Suku Rote digunakan sebagai ikon daerah NTT. Pada mulanya, pakaian adat Suku Rote terbuat dari serat-serat pohon. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Suku Rote mengganti bahan pakaian mereka dengan kain kapas. Mereka menanami lahan-lahan di sekitar rumah untuk menghasilkan kapas yang kemudian diolah menjadi kain kapas.

 

Busana Kalimantan Barat

Kalimantan Barat didiami oleh dua suku besar, yaitu Suku Melayu dan Suku Dayak. Busana atau pakaian adat Suku Melayu adalah Buang Kuureng atau baju kurung yang juga dipakai oleh Suku Melayu dari provinsi lain di Indonesia.

Buang Kuureng di Kalimantan Barat mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakan dengan baju kurung dari daerah lain di Indonesia atau di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Ciri khasnya terdapat pada corak, desain, maupun bahannya. Buang Kuureng Kalimantan Barat memiliki dua jenis yang keduanya dipakai oleh perempuan. Buang Kuureng bisa lengan panjang atau lengan pendek. Buang Kuureng yang berlengan pendek dikenal dengan Kuurung Sapek Tangan dan yang berlengan panjang disebut Kurung Langke Tangan. Perpaduan antara budaya Melayu dengan sentuhan Dayak menjadikan corak yang ada pada busana ini. Perpaduan itu terlihat unik dan membuat busana ini tampak lebih cantik.

 

Busana Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di ujung selatan Pulau Sulawesi. Berdasarkan data BPS 2019, Sulawesi Selatan memiliki jumlah penduduk 8,851 juta. Luas wilayah 45.331 km², di mana hampir setengah dari wilayahnya berupa hutan. Selain itu Sulawesi Selatan juga memiliki banyak suku dan adat yang memiliki kekhasan masing-masing, termasuk dalam hal berbusana.

 

Baju Bodo

Baju Bodo merupakan salah satu pakaian adat Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan. Menariknya, baju Bodo ternyata masuk ke dalam deretan pakaian adat tertua di dunia yang sudah ada sejak abad ke-9. Pada awalnya, baju Bodo dibuat dengan menggunakan bahan kain yang cukup terlihat transparan. Dengan masuknya agama Islam ke tanah Bugis, keberadaan baju Bodo dimodifikasi menggunakan bahan yang lebih tebal karena larangan dalam agama Islam memperlihatkan bentuk serta penampakan tubuh bagian dalam. Baju Bodo pada dasarnya merupakan baju adat yang secara khusus dibuat untuk dikenakan oleh para wanita jika dilihat dari desainnya.

Perempuan Dalam Lintasan Sejarah

 

Perempuan adalah kunci dari suksesi peradaban sebuah bangsa. Ini karena perempuan memegang kunci sebagai istri sekaligus sebagai ibu bagi generasi-generasi bangsa. Jika perempuan gagal sebagai istri sekaligus sebagai ibu, maka bisa dibayangkan bagaimana gelapnya dunia ini. Di lain sisi, keberadaan perempuan yang sedemikian hebatnya justru sering mendapat posisi yang tidak diuntungkan. Hal ini lantaran kuatnya paradigma masyarakat dengan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala aspek kehidupan seperti politik, moral, sosial dan keluarga sebagai otoritas yang berkuasa.

Fenomena ini masih lazim kita temukan sampai sekarang, apalagi rentan terjadi pada keluarga yang memiliki jenjang pendidikan rendah. Fakta ini secara tidak langsung membuktikan jika budaya patriarki masih sangat melekat. Padahal perempuan sebenarnya terbukti mengambil peran penting sekaligus vital dalam perjalanan peradaban bangsa. Dalam lintasan sejarah menurut catatan Peter Burke dalam bukunya Sejarah dan Teori Sosial dikatakan bahwa keberadaan perempuan nyaris tidak tampak dan terabaikan oleh sejarawan baik pekerjaan sehari-hari sampai peran politik (Burke, 2015: 73).

Bangsa kita Indonesia juga menyimpan banyak catatan gemilang tentang peran dan kontribusi perempuan terhadap kemajuan bangsa. Setiap 21 April, kita memperingati Hari Kartini, sosok perempuan bangsawan Jawa asal Jepara yang seluruh hidupnya memikirkan nasib perempuan Indonesia yang masih terperangkap oleh kekangan patriarki. Sosok yang kita hafal lagunya sejak kecil dan kita pahami bersama jika ibu kita Kartini adalah pahlawan bangsa, sekaligus pahlawan kaum perempuan untuk merdeka. Sebagai wujud penghargaan atas jasanya yang berjuang dalam pemikiran agar perempuan Indonesia tercerahkan, beliau dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Dikutip dari Espos Plus, Abu Nadzib dalam artikelnya berjudul “Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia” menerangkan jika sosok perempuan yang meninggal di usia sangat muda yakni 25 tahun itu mengekspresikan kegalauannya dalam surat-suratnya kepada sejumlah sahabatnya di Eropa, terutama kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminisme yang tinggal di Belanda.

Kartini memiliki kebiasaan melalui surat-suratnya mengekspresikan keinginan dan impian agar wanita Indonesia menjadi wanita berwawasan modern yang dapat mengenyam pendidikan dan berkarya seperti halnya kaum laki-laki tanpa harus terbatasi oleh tradisi dan budaya. Sebagian besar surat-surat yang ditulis Kartini dengan jelas mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal. Sebagaimana digambarkan dalam buku  Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini memiliki kritik terhadap situasi wanita Indonesia saat itu yang tertinggal, Kartini juga berani dan gigih memperjuangkan hak-hak wanita agar mendapat kesempatan untuk belajar dan berkarya.

Kemuliaan sosok Kartini terletak pada sikapnya yang berani menyampaikan kritik terhadap budaya patriarki Jawa yang sangat mengatur hidup wanita Indonesia. Pemikiran dan karakter juang sosok Kartini membuat dirinya mendapat hadiah dari pemerintah dengan gelar Pahlawan Nasional  untuk kesetaraan gender dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Meneladani Pemikiran Kartini

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, perempuan semakin mendapat haknya untuk belajar dan sekolah setinggi-tingginya. Semua itu tidak lepas dari kontribusi seorang Kartini yang bersuara lantang melalui tulisan-tulisannya agar sebuah bangsa menghargai sekaligus menempatkan perempuan untuk merdeka dalam berdaya.

Jika kaum pria mendapat kesempatan untuk belajar, sekolah dan berkarya. Maka perempuan juga sama haknya dengan kesempatan belajar, sekolah dan berkarya. Bahkan menurut penelitian, aspek kecerdasan seorang anak adalah warisan dari ibu, maka ibu yang cerdas dan terdidik sangat penting dalam membangun kecerdasaan nasional.

Perempuan sejatinya tidak diciptakan untuk sekadar berjibaku dengan persoalan domestik rumah tangga. Tetapi juga ikut terlibat dalam berbagai misi yang jauh lebih besar dengan cakupan luas. Jika kaum pria bisa sekolah tinggi di perguruan tinggi, maka perempuan juga memiliki kesempatan untuk maraihnya. Jika kaum pria dapat terjun di dunia politik, maka perempuan juga dapat berkontribusi di dunia politik. Suatu bangsa tidak hanya dikelola oleh kaum pria, melainkan juga kaum perempuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

Pesona Ratna Busana Surakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejarah HRB Surakarta

Berdirinya HRB Surakarta diprakarsai perempuan pencinta busana Nusantara asal Kota Bengawan.  Para tokoh pendiri HRB Surakarta itu yaitu, Hj. Danarsih Santosa, Ir. Rien Hermansukarman, RAY. Febri H. Dipokusumo, Dra. Maria Kartonagoro, Poppy S. Sarosa, Sri Sutanti David Sutarno, Iriano Subandono Notonegoro, S.H., Dra. Martha K. Wibowo, M.Si, Nora Yap Gunawan, Sri Nurgantiningsih, Hj. Yulia Rosa Santi W. ( dll mohon bantuan untuk dilengkapi jika ada yang ketinggalan)

Para perempuan ini memiliki cita-cita yang sama yaitu mewujudkan rasa cinta akan budaya bangsa Indonesia yang adiluhung. Pada 30 April 2010, HRB Surakarta resmi berdiri sebagai bagian dari HRB Pusat yang berdiri sejak tahun 1972 di Jakarta. Sebagai organisasi yang beranggotakan para perempuan pegiat busana adat Nusantara, HRB Surakarta menjadi wadah perempuan yang memiliki kesamaan tekad dalam melestarikan budaya.

Salah satu tujuan berdirinya HRB Surakarta tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART) organisasi yakni didasari rasa cinta kepada Tanah Air dan kebudayaan Indonesia. Hadirnya HRB merupakan upaya mulia sebagai warga Negara Indonesia yang sudah semestinya terus menggali, membina dan mengembangkan kebudayaan berbasis lokalitas. Dengan terus merawat kebudayaan diharapkan dapat memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan.

HRB Surakarta juga hadir dengan membawa visi dan misi sebagai berikut; Pertama, menggali dan melestarikan busana nasional dan tradisional Indonesia. Kedua, mengadakan modifikasi seperlunya sesuai situasi dengan tidak menghilangkan ciri khas busana nasional dan tradisional Indonesia. Ketiga, meningkatkan, memasyarakatkan, menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap busana nasional dan tradisional Indonesia.

Tokoh Inspirasi Perempuan HRB Surakarta

Berdirinya HRB bertepatan dengan momentum peringatan Hari Kartini. Ini membuktikan bila sosok perempuan berdarah ningrat tersebut menjadi inspirasi, teladan dan panutan dalam merawat eksistensi perempuan dalam semangat kebangsaan. HRB Surakarta memandang sosok Kartini tidak sekadar perempuan yang piawai menulis, tetapi sebagai tokoh pahlawan bergender perempuan yang kuat dalam pemikiran. Kartini terus mendorong perempuan Indonesia memiliki semangat untuk ikut berkontribusi memajukan kehidupan bangsa.

Pemikiran Kartini tidak sekadar mendobrak sekat-sekat kejumudan. Ia juga selalu menjadi sosok perempuan yang selalu menampilkan identitas busana Jawa. Lebih dari itu, Kartini juga menjadi cerminan karakter perempuan Jawa yang menjunjung tinggi adab dan kesantunan.

Selain Kartini, terdapat sejumlah tokoh perempuan yang menjadi sumber inspirasi bagi ARB Surakarta. Mereka menjadi tokoh yang sukses menunjukan ciri khas perempuan Indonesia di mata dunia. Mereka memiliki gaya berbusana yang sangat identik dengan kebudayaan Nusantara. Mereka antara lain seperti Ibu Hj. Fatmawati Soekarno, Ibu Hj. Hartini Soekarno, Ibu Hj. Tien Soeharto dan istri presiden ke tujuh Ibu Hj. Iriana Jokowi.

Para perempuan ini berhasil menampilkan busana dengan karakter yang sangat lekat dengan kebudayaan Indonesia ketika mendamping Presiden di acara kenegaraan. Keanggunan serta aura kuat terpancar dari cara mereka berjalan, caranya duduk dan bahkan caranya bertutur kata. Mereka menjadi inspirasi sekaligus panutan bagi setiap anggota HRB Surakarta dalam menjalankan segala aktivitas.

Iriana Jokowi Sebagai Inspirasi

Sebagai Ibu Negara, Ibu Iriana Jokowi patut menjadi teladan bagi perempuan generasi bangsa. Sebagai istri seorang Presiden, Ibu Iriana tetap terlihat modis dengan busana yang lekat dengan identitas Nusantara baik yang bersifat pakem maupun modifikasi. Seperti ketika  mendampingi Presiden berkunjung ke negara-negara sahabat. Ibu Iriana dengan busana Nusantaranya yang khas selalu sukses memikat dan terlihat berbeda dengan istri dari presiden negara lain.

Gaya serta penampilan Ibu Iriana selalu menjadi sorotan media nasional maupun mancanegara. Bahkan tidak sedikit istri dari presiden negara sahabat yang tertarik dengan busana yang dikenakan oleh Ibu Iriana. Dengan kayanya variasi busana Nusantara manjadikan Ibu Iriana tidak monoton dalam berpenampilan. Sebagai generasi muda sudah semestinya menjadikan Ibu Iriana sebagai inspirasi yang bangga dengan busana serta aksesoris yang lekat dengan identitas Nusantara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perempuan Dalam Lintasan Sejarah

Perempuan adalah kunci dari suksesi peradaban sebuah bangsa. Ini karena perempuan memegang kunci sebagai istri sekaligus sebagai ibu bagi generasi-generasi bangsa. Jika perempuan gagal sebagai istri sekaligus sebagai ibu, maka bisa dibayangkan bagaimana gelapnya dunia ini. Di lain sisi, keberadaan perempuan yang sedemikian hebatnya justru sering mendapat posisi yang tidak diuntungkan. Hal ini lantaran kuatnya paradigma masyarakat dengan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala aspek kehidupan seperti politik, moral, sosial dan keluarga sebagai otoritas yang berkuasa.

Fenomena ini masih lazim kita temukan sampai sekarang, apalagi rentan terjadi pada keluarga yang memiliki jenjang pendidikan rendah. Fakta ini secara tidak langsung membuktikan jika budaya patriarki masih sangat melekat. Padahal perempuan sebenarnya terbukti mengambil peran penting sekaligus vital dalam perjalanan peradaban bangsa. Dalam lintasan sejarah menurut catatan Peter Burke dalam bukunya Sejarah dan Teori Sosial dikatakan bahwa keberadaan perempuan nyaris tidak tampak dan terabaikan oleh sejarawan baik pekerjaan sehari-hari sampai peran politik (Burke, 2015: 73).

Bangsa kita Indonesia juga menyimpan banyak catatan gemilang tentang peran dan kontribusi perempuan terhadap kemajuan bangsa. Setiap 21 April, kita memperingati Hari Kartini, sosok perempuan bangsawan Jawa asal Jepara yang seluruh hidupnya memikirkan nasib perempuan Indonesia yang masih terperangkap oleh kekangan patriarki. Sosok yang kita hafal lagunya sejak kecil dan kita pahami bersama jika ibu kita Kartini adalah pahlawan bangsa, sekaligus pahlawan kaum perempuan untuk merdeka. Sebagai wujud penghargaan atas jasanya yang berjuang dalam pemikiran agar perempuan Indonesia tercerahkan, beliau dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Dikutip dari Espos Plus, Abu Nadzib dalam artikelnya berjudul “Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia” menerangkan jika sosok perempuan yang meninggal di usia sangat muda yakni 25 tahun itu mengekspresikan kegalauannya dalam surat-suratnya kepada sejumlah sahabatnya di Eropa, terutama kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminisme yang tinggal di Belanda.

Kartini memiliki kebiasaan melalui surat-suratnya mengekspresikan keinginan dan impian agar wanita Indonesia menjadi wanita berwawasan modern yang dapat mengenyam pendidikan dan berkarya seperti halnya kaum laki-laki tanpa harus terbatasi oleh tradisi dan budaya. Sebagian besar surat-surat yang ditulis Kartini dengan jelas mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal. Sebagaimana digambarkan dalam buku  Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini memiliki kritik terhadap situasi wanita Indonesia saat itu yang tertinggal, Kartini juga berani dan gigih memperjuangkan hak-hak wanita agar mendapat kesempatan untuk belajar dan berkarya.

Kemuliaan sosok Kartini terletak pada sikapnya yang berani menyampaikan kritik terhadap budaya patriarki Jawa yang sangat mengatur hidup wanita Indonesia. Pemikiran dan karakter juang sosok Kartini membuat dirinya mendapat hadiah dari pemerintah dengan gelar Pahlawan Nasional  untuk kesetaraan gender dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Meneladani Pemikiran Kartini

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, perempuan semakin mendapat haknya untuk belajar dan sekolah setinggi-tingginya. Semua itu tidak lepas dari kontribusi seorang Kartini yang bersuara lantang melalui tulisan-tulisannya agar sebuah bangsa menghargai sekaligus menempatkan perempuan untuk merdeka dalam berdaya.

Jika kaum pria mendapat kesempatan untuk belajar, sekolah dan berkarya. Maka perempuan juga sama haknya dengan kesempatan belajar, sekolah dan berkarya. Bahkan menurut penelitian, aspek kecerdasan seorang anak adalah warisan dari ibu, maka ibu yang cerdas dan terdidik sangat penting dalam membangun kecerdasaan nasional.

Perempuan sejatinya tidak diciptakan untuk sekadar berjibaku dengan persoalan domestik rumah tangga. Tetapi juga ikut terlibat dalam berbagai misi yang jauh lebih besar dengan cakupan luas. Jika kaum pria bisa sekolah tinggi di perguruan tinggi, maka perempuan juga memiliki kesempatan untuk meraihnya. Jika kaum pria dapat terjun di dunia politik, maka perempuan juga dapat berkontribusi di dunia politik. Suatu bangsa tidak hanya dikelola oleh kaum pria, melainkan juga kaum perempuan.